Konflik Indonesia Melawan Belanda

Gerbang Cerita – Mengapa terjadi konflik antara Indonesia dan Belanda? Perlu dipahami bahwa berbagai peristiwa heroik telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Rakyat dan para pejuang Indonesia terus berjuang melawan tindakan Sekutu dan NICA yang mengganggu kemerdekaan Indonesia. 


Di pihak lain, Inggris selaku wakil Sekutu sedikit demi sedikit menarik diri dan memberi kesempatan kepada tentara NICA (Belanda) untuk berperan. Beberapa tempat yang telah ditinggalkan Sekutu diambil alih oleh Belanda.

Berbagai tindakan Inggris tersebut telah mengecewakan rakyat Indonesia sehingga menimbulkan konflik antara Indonesia dan Belanda. Ditambah lagi sikap dan tindakan Belanda yang congkak dan selalu meneror bangsa Indonesia. Sementara itu, kedudukan Belanda makin kuat dan wilayahnya makin bertambah luas. Keinginan Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia makin nyata.

Dengan kenyataan itu maka Indonesia harus kembali berjuang berhadapan dengan Belanda. Belanda terus melakukan tekanan dengan teror dan senjata. Jakarta sebagai ibu kota RI mendapat tekanan dan terganggu keamanannya. Akhir tahun 1945, kondisi Jakarta dinilai tidak aman lagi sebagai pusat pemerintahan. Ditambah lagi pendaratan pasukan marinir Belanda di Tanjung Priok pada tanggal 30 Desember 1945 membuat suasana Jakarta makin genting. Oleh karena itu, timbul rencana untuk memindahkan ibu kota RI ke kota lain. Yogyakarta terpilih sebagai pusat pemerintahan RI yang baru. Tepat pada tanggal 4 Januari 1946, secara resmi ibu kota RI pindah ke Yogyakarta.

Upaya Belanda untuk menguasai Indonesia terus dilakukan di berbagai daerah. Oleh karena itu, rakyat Indonesia terus berjuang melawan Belanda. Perjuangan dengan senjata terus-menerus dilakukan, tetapi belum membawa hasil yang memuaskan. Oleh karena perjuangan senjata tidak memuaskan, pemerintah mencoba melakukan perjuangan diplomasi atau perundingan. Diadakanlah perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung. Beberapa perundingan yang dilakukan RI dan Belanda untuk menyelesaikan konflik, antara lain Perundingan Linggajati, Renville, Roem-Royen, dan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Perundingan 17 November 1945

Perundingan awal antara Indonesia, Belanda, dan Sekutu dirintis oleh Pangliam AFNEI, Letnan Jendral Sir Philip Christison. Pada tanggal 17 November 1945, diadakan pertemmuan pertama antar pemerintah Republik Indonesia, Belanda, dan Sekutu. Dalam pertemuan tersebut, pihak pemerintah Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, pihak Belanda diwakili oleh Dr. Van Mook, dan pihak Sekutu diwakili oleh Christison.

Perundingan Februari 1946

Usaha untuk mendamaikan konflik antara Republik Indonesia dan Belnda dilanjutkan oleh pemerintah Inggris. Pada awalnya, pemerintah Inggris mengirimkan Sir Archilbald Clark Kerr sebagai penengah. Pada tahap selanjutnya, Sir Archilbald Clark Kerr digantikan oleh Killearn.
Perundingan Indonesia-Belanda dimulai pada tanggal 10 Februari 1946, di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir Belanda diwakili oleh Dr. Van Mook, dan Clark Kerr dari Inggris sebagai penengah. Perundingan ini tidak melahirkan hasil yang memuaskan. Meskipun demikian, Inggris menganggap kedua belah pihak telah saling membuka diri. Oleh karena itu, perundingan perlu ditingkatkan. 

Perundingan Hooge Veluwe

Perundingan lanjutan Indonesia-Belanda dilaksanakan di Hooge Veluwe (Negeri Belanda) pada tanggal 14-25 April 1946. Pada perundingan di Hooge Veluwe, Belanda ternyata masih menolak konsep hasil pertemuan Syahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Dengan demikian, perundingan di Hooge Veluwe mengalami kegagalan. 

Perundingan Gencatan Senjata

Perundingan gencatan senjata yang dilaksanakan pada tanggal 20-30 September 1946 tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan. Atas usaha Lord Killearn, pada tanggal 7 Oktober 1946 berhasil dilaksanakan persetujuan gencatan senjata.

Perundingan Linggajati

Perundingan Linggajati berlangsung pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggajati, Kuningan, Cirebon. Dalam perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh sutan Syahrir dan Dr. A.K. Gani, sedangkan pihak Belanda dipimpin Prof. Schermerhorn dengan anggota Dr. Van Mook, F. De Boer, dan Van Poll.

Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. Adapun pokok-pokok Perundingan Linggajati itu adalah sebagai berikut.
  1. Belanda mengakui secara de facto wilayah RI atas Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah-daerah yang diakui secara de facto milik RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  2. RI dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) dengan nama RIS dan RI menjadi salah satu bagian RIS.
  3. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai Ketua Uni.
Isi kesepakatan Perundingan Linggajati itu kemudian secara resmi ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka jakarta).
Dengan ditandatangani Perundingan Linggajati itu, kedudukan Belanda di Indonesia bertambah kuat. Belanda merasa mendapat peluang untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Bagi Indonesia, sekali pun dirugikan, tetapi tidak putus asa. Perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan terus dilakukan.

Agresi Militer Belanda I

Belanda terus berusaha memperkuat diri. Perselisihan paham tentang pelaksanaan isi Perundingan Linggajati juga makin tajam. Sementara itu, Belanda menghadi kesulitan ekonomi sehingga ingin menyelesaikan masalah Indonesia dengan cepat. Akhirnya, Belanda mulai menempuh segala cara, antara lain dengan melancarkan serangkaian aksi penyerangan. 

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke daerah-daerah yang menjadi wilayah RI. Serangan inilah yang dikenal dengan Agresi Militer I. Belanda mulai menduduki Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Menghadapi tibdakan licik Belanda ini, pasukan TNI berusaha melakukan serangan balasan. Bahkan, TNI Angkatan Udara sempat melancarkan serangan udara. Namun, harus diakui Belanda memang lebih kuat.

Tindakan Agresi Militer Belanda I ini mendapat reaksi keras dunia Internasional. Bahkan, beberapa negara tetangga menaruh simpati terhadap nasib bangsa Indonesia. Simpati datang, misalnya dari Palang Merah Malaya, mereka telah mengirimkan bantuan obat-obatan kepada Indonesia. Akan tetapi, pesawat Dakota VT-CLA yang mengangkut obat-obatan dari Singapura setelah sampai di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1947 ditembak jatuh oleh pesawat Belanda. Gugur dalam peristiwa ini, antara lain Komodor Muda Udara A. Adi Sucipto, Komodor Muda Udara Dr. Abdurrachman Saleh, dan opsir Muda Udara I Adi Sumarno Wiryo Kusumo.

Belanda memang berlaku licik dan terus mengingkari janji sehingga mendapat protes dari berbagai pihak. Atas desakan India dan Australia, Dewan Keamanan PBB membahas masalah Indonesia. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan gencatan senjata.
Untuk mengawasi gencatan senjata dibentuk Komisi Konsuler. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, Belanda terus melakukan pelanggaran kesepakatan gencatan senjata.

Untuk mengatasi dan menyelesaikan persengketaan antara Indonesia dan Belanda secara damai,  Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Jasa Baik. Komisi itu kemudian terkenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota Komisi Tiga Negara dipilih oleh masing-masing negara yang bertikai. Anggota Komisi Tiga Negara itu adalah :
  1. Australia, diwakili oleh Richard Kirby (Negara pilihan Indonesia),
  2. Belgia, diwakili oleh Paul Van Zealand (Negara pilihan Belanda), dan
  3. Amerika Serikat, diwakili oleh Dr. Frank Graham (Negara pilihan Indonesia dan Belanda).

Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaanya. Sebelum Komisi ini tiba di Indonesia, ternyata Belanda telah memperluas batas-batas wilayah kekuasaannya. Batas-batas terakhir perluasan wilayah yang dikuasai Belanda ini disebut sebagai Garis Van Mook. 

Perundingan Renville

Berkat usaha dan perantaraan KTN, tercapai kesepakatan antara Indonesia dan Belanda untuk mengadakan perundingan. Perundingan berlangsung pada tanggal 8 Desember 1947 yang disebut dengan Perundingan Renville. Perundingan ini bertempat di geladak kapal Amerika Serikat USS Renville yang sedang berlabuh di Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Pihak Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (orang Indonesia yang memihak Belanda). 

Perundingan berlangsung alot, setiap pihak mempertahankan pendapatnya. Indonesia menuntut agar Belanda menarik pasukannya ke batas daerah sebelum terjadi Agresi Militer I tanggal 21 Juli 1947. Sementara itu, Belanda menuntut pengakuan wilayah dengan batas Garis Van Mook.

Karena tekanan dan jaminan dari berbagai pihak, Belanda dan Indonesia akhirnya menerima naskah kesepakatan Perundingan Renville. Perundingan itu ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Isi perundingan Renville itu adalah sebagai berikut.
  1. Persetujuan gencatan senjata, yakni kesepakatan untuk menghentikan tembak-menembak di sepanjang Garis Van Mook.
  2. Dasar-dasar politik, berisi kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaian secara damai dengan bantuan KTN.
  3. Pasal-pasal tambahan, antara lain berisi ketentuan bahwa kedaulatan Indonesia untuk sementara berada di tangan Belanda dan akan diserahkan kepada pihak NIS (Negara Indonesia Serikat).
Dengan Perundingan Renville itu maka batas wilayah dalam Perundingan Renville berdasar Garis Van Mook. Daerah Belanda menjadi makin luas dan menguntungkan, sebaliknya wilayah RI semakin sempit.

Akibat bagi Indonesia dengan disepekatinya Perundingan Renville adalah sebagai berikut.
  1. TNI harus segera meninggalkan daerah-daerah kantong yang berada di wilayah pendudukan Belanda. TNI kemudian melakukan hijrah ke wilayah Yogyakarta (RI).
  2. Wilayah RI menjadi sangat sempit.
  3. Makin banyaknya TNI dan penduduk yang memasuki wilayah RI yang sudah begitu sempit akan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi.
  4. Dengan dikosongkannya daerah-daerah kantong akan memperlemah sistem pertahanan Indonesia.

Agresi Militer Belanda II dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

Pertikaian antara Indonesia dengan Belanda makin meningkat. Bahkan, pada tanggal 18 Desember 1948, pejabat Belanda Dr. Beel menyatakan tidak lagi mengakui isi Perundingan Renville. Dengan demikian, Belanda ingin bebas bertindak di Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer II. Lapangan terbang Maguwo dihujani tembakan. Sasaran serangan terus bergerak ke arah pusat ibu kota RI.

Pada hari itu Presiden Sukarno sempat memimpin sidang darurat sebelum serangan pasukan Belanda sampai di pusat kota. Dalam sidang itu diambil keputusan untuk memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran,  Mr. Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatra untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI (PDRI). Seandainya upaya Mr. Syafrudin Prawiranegara tidak berhasil, diharapkan A.A. Maramis, L.N. Palar, dan Sudarsono yang sedang berada di India untuk membentuk pemerintahan RI di India. Pemberian mandat tersebut dikirim melalui radiogram milik AURI di Wonosari, Gunung Kidul karena pemancar radio MBT di kota Yogyakarta telah dibom Belanda. Panglima Besar Jendral Sudirman mendukung penuh berdirinya PDRI.

Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan beberapa pejabat lainnya memutuskan untuk tetap bertahan di ibu kota. Seluruh kekuatan TNI diperintahkan untuk keluar kota. Akhirnya, Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa pejabat tinggi lainnya ditawan Belanda. Presiden Soekarno diasingkan ke Prapat (dekat Danau Toba), Sumatra Utara. Wakil Presiden diasingkan ke Bangka.
Pada tanggal 22 Desember 1948, Mr. Syafrudin Prawiranegara mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Pada tanggal 1 Januari 1949, PDRI membentuk lima wilayah pemerintah militer di Sumatera. Kelima wilayah tersebut adalah Aceh (termasuk Langkat dan Tanah Karo), Tapanuli dan Sumatera Timur, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Sterlah mengadakan konsultasi jarak jauh dengan para pimpinan di Jawa, pada tanggal 31 Maret 1949 Mr. Syafruddin Prawiranegara mengumumkan penyempurnaan susunan pimpinan PDRI.

Keberadaan PDRI kemudian diumumkan melalui radio ke seluruh dunia. Sudarsono, A.A. Maramis, dan L.N. Palar adalah tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam menyuarakan PDRI di dunia internasional. Dalam situasi ini, secara de facto Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Kepala Pemerintah Republik Indonesia. Dengan terbentuknya PDRI, berarti kelangsungan hidup pemerintah Republik Indonesia dapat dipelihara dan dijalankan.

Perang Gerilya dan Serangan Umum 1 Maret 1949

Pada waktu tentara Belanda menyerang Yogyakarta, Pangliam Jendral Sudirman baru saja pulang dari perawatan di Rumah Sakit Panti Rapih. Setelah mendengar adanya serangan Belanda, Jendral Sudirman segera pergi ke Gedung Agung, Yogyakartatempat para pemimpin pemerintahan bersidang. Ia mengetahui bahwa Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa Menteri ingin tetap bertahan di kota. Jemdral Sudirman (dalam keadaan sakit) beserta anggota TNI yang lain sepakat meninggalkan kota untuk melancarkan Perang Gerilya. Beberapa tokoh militer yang menyertai Jendral Sudirman bergerilya, antara lain Kolonel Gatot Subroto, T.B. Simatupang, A.H. Nasution, Sarbini, Suparjo Rustam, dan Cokropranolo. Sementara itu, pasukan Divisi Siliwangi diperintahkan untuk long march kembali ke Jawa Barat.

Jendral Sudirman memimpin perang gerilya dari tempat satu ke tempat yang lain. Ia juga memerintahkan untuk membumihanguskan bangunan-bangunan penting dan jembatan yang sekiranya digunakan Belanda. Pertahanan di luar kota dibuat di beberapa tempat, misalnya di Gunung Kidul.

Menghadapi perang gerilya itu Belanda cukup kebingungan. Untuk itu, Belanda membuat pos-pos pertahanan yang tersebar untuk melakukan hubungan antar kota. Belanda terus menindas rakyat dengan melakukan propaganda bahwa negara RI telah bubar dan TNI sudah tidak ada. Dalam hal ini, Letkol Soeharto selaku Komandan Werkreise III diserahi tugas pertahanan daerah di Yogyakarta dan sekitarnya. Sementara itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertanggung jawab di dalam Kota Yogyakarta.

Menghadapi propaganda Belanda yang menyatakan RI sudah ambruk dan TNI sudah tidak ada, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Letkol Soeharto melancarkan serangan terhadap Belanda di Yogyakarta. Pada tanggal 1 Maret 1949, terjadilah serangan umum yang sangat menakjubkan. Serangan ini dilancarkan pada pagi hari setelah sirine berbunyi sebagai tanda berakhirnya jam malam. Akhirnnya, Yogyakarta pun berhasil diduduki oleh TNI walaupun hanya selama enam jam.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu ternyata memiliki makna yang sangat penting bagi Indonesia, yaitu.
  1. Membuka mata dunia internasional bahwa TNI dan negara RI masih ada;
  2. Makin meningkatkan moral dan semangat juang para gerilyawan;
  3. Memperkuat dan mendukung perjuangan diplomasi bangsa Indonesia.
Panglima Jendral Sudirman terus melakukan gerilya. Setelah keluar dari daerah Gunung Kidul mereka mulai memasuki wilayah Karesidenan Surakarta. Gerilya diteruskan ke Madiun, Ponorogo, Trenggalek, dan Kediri. Selanjutnya, para gerilyawan mengitari Gunung Liman dan Gunung Wilis, kembali ke Trenggalek. Gerilya ke arah barat melalui wilayah Jawa bagian selatan. Tempat-tempat yang dilalui Jendral Sudirman dan rombongan gerilya ini dikenal dengan Rute Gerilya Panglima Besar Jendral Sudirman. 

Perundingan Roem-Royen

Serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan penahanan para pemimpin Republik Indonesia kembali mendapat kecaman dunia internasional. Sementara itu, Serangan Umum 1 Maret 1949 makin membuka mata dunia bahwa sebenarnya TNI dan RI masih ada. Walaupun begitu, Belanda tetap membandel.

Kenyataan itu telah mendorong Amerika Serikt untuk bersikap tegas. Amerika Serikat memaksa Belanda untuk melakukan perundingan kembali dengan Indonesia. Akhirnya, tanggal 14 April 1949 dilakukan lagi perundingan. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan Belanda oleh van Royen. Oleh karena itu, perundingan itu disebut Perundingan Roem-Royen. Isi perundingan Roem-Royen adalah sebagai berikut.
  1. Pihak Indonesia akan menghentikan perang gerilya.
  2. Belanda akan menghentikan gerakan militer dan menarik semua pasukannya dari wilayah RI.
  3. Belanda setuju mengembalikan para pemimpin Indonesia yang ditawannya ke Yogyakarta.
  4. Akan diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan belanda.
Sebagai pelaksanaan isi Perundingan Roem-Royen, pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan belanda ditarik mundur dari Yogyakarta. Sebaliknya, anggita TNI mulai memasuki kembali Yogyakarta. Peristiwa inilah yang sering dikenal sebagai Yogya kembali.

Pada tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan beberapa pejabat lain kembali ke ibu kota RI di Yogyakarta. Kemudian, tanggal 10 Juli 1949 Pang Lima Besar Jendral Sudirman juga telah kembali ke Yogyakarta. Akan tetapi, karena penyakit yang dideritannya, pada tanggal 29 Januari 1950 Jendral Sudirman wafat dan diakui sebagai Bapak TNI.
Pada tanggal 13 Juli 1949, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya sehingga berakhirlah masa PDRI.

Itulah cerita persoalan konflik yang terjadi ketika Indonesia melawan Belanda dalam perebutan wilayah-wilayah di Indonesia dan ini lah yang terjadi ketika negara kita tercinta ini berusaha untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka dari itu, kita sebagai warga Negara Republik Indonesia berhak menjunjung tinggi kemerdekaan Indonesia dan bangga sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Referensi Saya : Sardiman
Kamu sedang membaca artikel tentang Konflik Indonesia Melawan Belanda Silahkan baca artikel Gerbang Cerita Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Konflik Indonesia Melawan Belanda Sebagai sumbernya

0 Response to "Konflik Indonesia Melawan Belanda"

Post a Comment